Dinamika Gerakan
IPNU-IPPNU
sebagai Organisasi Kader Berbasis
Keilmuan
Ipnu.ippnu.sudimoro@gmail.com [by: PR IPNU – IPPNU
Sudimoro]
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pertama
kali yang terpenting, IPNU-IPPNU harus kembali pada habitat, fitrah dan
identitasnya sebagai organisasi yang bergerak di bidang keilmuan, pengabdian
dan latihan kepemimpinan untuk masa depan. Inilah habitat IPNU-IPPNU yang
sesungguhnya. Mengingat kembali pada Keputusan Kongres XIV IPNU-IPPNU di Asrama
Haji Sukolilo Surabaya pada 18-24 Juni 2003 untuk mengembalikan IPNU-IPPNU
sebagai organisasi pelajar adalah keputusan yang tepat. Oleh karenanya harus
dibangun komitmen untuk menjadikan IPNU-IPPNU sebagai penunjang prestasi
ilmiah.
Sebaliknya,
jangan beralasan karena aktivitis IPNU-IPPNU, belajar sebagai tugas anak muda
justru terkesampingkan. IPNU-IPPNU semestinya menjadi lambang prestasi
keilmuan. Untuk itu tugas kita saat ini adalah bagaimana membuat IPNU-IPPNU
untuk menjadi komunitas belajar (learning community) yang menunjang bagi proses
pengembangan keilmuan. Karena itulah IPNU-IPPNU harus menyediakan perangkat dan
sektor keilmuan.
Pengembangan-pengembangan
IPNU-IPPNU tidak cukup hanya dengan menggunakan isu-isu ideologis. Jika
tema-tema ideologis yang dikedepankan, maka IPNU-IPPNU hanya akan terbatas pada
anak-anak NU dan semakin hari semakin menyempit. Hal ini karena tidak semua
anak-anak NU masuk IPNU-IPPNU, mungkin tidak minat karena IPNU-IPPNU tidak
menjanjikan apa-apa. Keilmuan dapat diklasifikasikan pada dua ranah : yaitu
keilmuan disipliner dimana kader IPNU-IPPNU belajar dan sekolah; dan keilmuan
keagamaan visioner. Yang disebut terakhir berarti bagaimana agar kader-kader
IPNU-IPPNU juga mewarisi cara berfikir keagamaan dan etika Nahdlatul Ulama.
Tidak hanya mewarisi format organisasinya. Hal ini menjadi penting agar tidak
terjadi kegagalan-kegagalan sebagaimana organisasi Islam yang hanya berbentuk
format kepemimpinan, tetapi ideologinya hilang. Organisasi-organisasi model
seperti inilah yang sering melahirkan koruptor. Dengan begitu, maka Islam tidak
lagi bisa menjadi filter dari tindakan-tindakan a-moral. Oleh karena itu harus
diupayakan bagaimana khasanah pemikiran, pengamalan agama serta tata hubungan
agama dengan masyarakat dan negara yang sudah menjadi budaya keagamaan kita,
terwariskan secara baik. Kita sadar hal ini tidak mudah untuk dilakukan. Bahkan
NU sendiri belum tentu mampu mewariskan secara baik, karena beberapa faktor.
Pertama, pesantren-pesantren yang dijamin berfikir Sunni belum tentu berwawasan
luas, sehingga ilmunya menggenang untuk diri sendiri. Oleh karena itu
diperlukan ilmu-ilmu suplemen atau ilmu-ilmu bantu untuk mengalirkan ilmu
pesantren salafiyah itu. Sekarang anak-anak muda sudah bisa membaca kitab-kitab
kuning besar seperti Ihya’ Ulumuddin. Namun mereka tidak bisa bercerita apa-apa
tentang kitab itu kepada komunitas lain. Akhirnya hak miliknya menggenang.
Kedua, para komentator agama lebih menguasai bibliotik agama dari pada materi
agama.
Tulisan-tulisan
tentang Al-Ghozali misalnya, sebenarnya adalah komentar, bukan materi agamanya.
Jadi, yang punya ilmu tidak bisa memasarkan, dan yang menguasai pasaran tidak
punya barang. Kalau kondisi ini berjalan dalam tempo berdekade-dekade, maka
imamatul ulama dalam arti ilmiah akan selesai. Bahkan tidak mungkin lagi dari
Indonesia tumbuh ulama yang berkaliber internasional, karena alat
processing-nya tidak ada. Fenomena ini tidak hanya melanda IPNU-IPPNU,
melainkan juga generasi Islam pada ormas yang lain. Keadaan Muhammadiyah lebih
berat dari kita dalam hal ini. Hal ini karena Muhamadiyah tidak memiliki alat
processing untuk menjamin kemuhammadiyahan generasi selanjutnya. SMP, SMA,
Universitas adalah public service dan public utility, bukan rule of ideology.
Akhirnya generasi NU dan Muhammadiyah adalah generasi yang sama-sama tidak
paham tentang masalah keilmuan agamanya. Dulu, kalau ulama NU dan Muhammadiyah
sekalipun berbeda tetapi rukun, seperti Kyai Idham Kholid dengan Bapak Hamka,
karena mereka sama-sama mengerti. Tetapi celakanya, sekarang antara NU dan
Muhammadiyah juga rukun karena sama-sama tidak mengertinya. Perlu diperhatikan
oleh IPNU-IPPNU yang sejak semula dilahirkan untuk cita-cita ini, yaitu
bagaimana mewawasankan ilmu salaf yang menggenang dan mengisi intelektual
dengan materi agama.
Bukan
hanya informasi agama, melainkan juga amaliyyah (pekerjaan) dan karakter
(sifat) agama. Selain itu kader IPNU-IPPNU hendaknya sadar bahwa pada era
sekarang orang tidak bisa ditarik melalui dogma atau paradigma. Hal ini karena
kuatnya sekularisasi keadaan dan pragmatisasi masyarakat – manusia sosial serta
membutuhkan ekonomi. Kalau IPNU-IPPNU merekrut anggota dengan sekedar
menyodorkan nama, maka hanya anak orang NU yang terjaring. Namun kalau
IPNU-IPPNU menyediakan bimbingan belajar yang berkualitas serta berprilaku
moral agama yang tekun misalnya, maka akan menarik banyak kalangan pelajar dan
orang tua, bahkan bukan hanya pelajar keturunan NU. Melalui pengabdian
IPNU-IPPNU akan besar dan sebaliknya dengan kristalisasi dan kontradiksi
sosial, IPNU-IPPNU akan semakin kecil. Ini adalah hukum sosiometri (gejala
sosiologi yang hampir bisa dipastikan). Semua gerakan radikal tidak pernah bisa
besar, karena mainstream mayoritas tidak mungkin diajak radikal. Yang mungkin
adalah diperhatikan kepentingan. Karena itulah gerakan radikal akan selalu
berubah menjadi gerakan militan. Dan militan pasti minoritas aktif (active
minority) bukan silent majority. Kongretnya, IPNU-IPPNU sudah semestinya menyelenggarakan
kegiatan-kegiatan pengabdian yang rohmatan lil alamin.
Itulah
jaring untuk merekrut kader muda terpelajar. Banyaknya anak-anak muda NU yang
masuk organisasi lain, karena organisasi kepemudaan NU tidak bisa menyajikan
pengabdian yang mewadahi. Pengabdian itu bisa berupa pelatihan, orientasi dan
lain sebagainya. Melihat kecenderungan seperti ini kita tidak perlu marah,
justru harus intropeksi untuk selanjutnya menandinginya dengan tindakan yang
lebih baik. Nahdlatul Ulama selalu kalah karena gerakannya by accident, tidak
ada yang diselenggarakan by design. Setiap kegiatan dilakukan hanya karena
ketepatan-ketepatan. Karena itulah kegiatannya tidak memiliki frame yang jelas.
Nah, kalau pengabdian sudah ada, kita mulai meningkat pada latihan kepemimpinan,
akan tetapi kita tidak boleh terjebak pada salah satu alur pelatihan tapi juga
diperhatihan pelatihan yang mendukung pada pengembangan skil (profesi).
Latihan
kepemimpinan ini tidak cukup dengan orientasi kepemimpinan. MAKESTA, LAKMUD,
LAKUT dan lain-lain adalah orientasi kepemimpinan, belum menjadi pelatihan
kepemimpinan. Setiap pemimpin dicetak melalui latihan. Pelatihan yang dimaksud
bisa berarti pelatihan formal yang difasilitasi oleh fasilitator, namun yang
jauh lebih penting adalah latihan langsung dengan peran-peran alamiah.
Orientasi kepemimpinan tetap diperlukan, tetapi peluang untuk beraksi dengan
belajar di lapangan sebagai pemimpin juga harus disediakan. Namun kepemimpinan
ini jangan dibatasi pada kepemimpinan NU dan kepemimpinan politik, tapi juga
kepemimpinan sosial pada gerakan disipliner atau interdisipliner sesuai dengan
habitat keilmuannya masing-masing. Tidak mungkin kader IPNU-IPPNU yang
sedemikian banyak akan menjadi pemimpin NU semua. Hal ini bisa dijembatani
dengan memberi peluang pada kader IPNU-IPPNU untuk ditempatkan pada
kepengurusan NU maupun lembaga-lembaganya di setiap tingkatan, baik cabang, MWC
dan ranting. Peluang ini sudah semestinya diberikan sebagai wahana belajar
kepemimpinan yang tidak lagi orientatif, melainkan sudah bersifat aksi. Tidak
hanya itu, latihan aksi kepemimpinan ini juga bisa dilakukan dalam kepengurusan
partai politik. Hal ini menjadi agenda penting karena IPNU-IPPNU adalah “anak”
NU yang paling memungkinkan untuk ditata. Berbeda dengan G.P Ansor yang
berangggotakan massa yang sudah tidak lagi berada pada satu level kepemimpinan
yang seragam dan level pengetahuan dan pemikiran yang setingkat. Sebagaimana
NU, GP Ansor sudah berhadapan dengan real community (Masyarakat riil) yang
hitrogen. Sedangkan IPNU-IPPNU terdiri dari kader yang relatif homogen dalam
level pemikiran. Dengan level tertentu ini maka IPNU-IPPNU dapat dibentuk untuk
melakukan sikap yang sama terhadap sebuah fenomena. Kepemimpinan IPNU-IPPNU
yang dimaksud diatas mungkin bisa dalam ranah politik atau dalam ranah
disipliner. Jika kita memiliki ketrampilan tertentu dan berada di tempat
tertentu, dengan didukung oleh jiwa kepemimpinan, maka kita dapat memimpin di
tempat kita masing-masing. Kita tidak saatnya memaksakan diri untuk ngumpul semua
di NU atau di partai politik. Karena kekuatan partai adalah kekuatan
formalistik, sementara kekuatan masyarakat adalah kekuatan substansialistik.
Dengan demikian IPNU-IPPNU akan mempunyai prospek masa depan atau tidak
tergantung pada orang lain, melainkan tergantung pada kita. Tugas besar kader
IPNU-IPPNU saat ini adalah mencari kembali formulasi gerakan untuk
mengembangkan organisasi setelah menentukan pilihan untuk “kembali ke pelajar”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar